Home » » Balada Tukang Jamu Gendong

Balada Tukang Jamu Gendong

Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan tukang jamu gendong keliling dari dahulu hingga saat ini yang sangat menjadi ciri khas culture budaya Indonesia yang sudah sangat melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. Apa lagi untuk para penikmat jamu gendong ini, adalah kaum ibu – ibu rumah tangga yang kebanyakan yang menjadi langganan setia dari muda hingga tua.





Tak peduli dari kaum menengah keatas hingga menengah ke bawah pun, tidak mau ketinggalan dalam mencicipi jamu gendong tradisional ini. Karena jamu gendong yang dijajakan ini,sangat ekonomis & berbahan dasar alami sehingga tidak menimbulkan efek samping seperti obat dari resep dokter. Walaupun begitu,kisah perjuangan dibalik pembuatan jamu tradisional ini tidak mudah seperti membalikan telapak tangan.


Karena bahan rempah – rempah, yang dijadikan ramuan harus dipilih secara kualitas agar menghasilkan rasa & manfaat yang sesuai harapan. Tapi sungguh ironi sekali,keuntungan yang mereka peroleh tidak seberapa dengan perjuangan mereka mengolah itu & memberikan dampak kesehatan bagi para pelanggan selama ini.Mereka memang bukan dokter dari lulusan Sarjana Farmasi yang memiliki kemampuan terdidik & bersertifikat resmi dalam membuat rajikan obat tradisional tersebut.


Karena ilmu yang mereka peroleh, adalah ilmu meracik jamu tradisional yang diturunkan secara turun menurun dari nenek moyang mereka pada jaman dahulu. Walaupun tak ada uji laboratrium untuk jamu tradisional buatan mereka, tapi hampir kebanyakan masyarakat Indonesia lebih percaya dengan jamu tradisional buatan mereka dibanding obat dari resep dokter.Ini karena kepercayaan, yang sudah melekat dimasyarakat Indonesia tentang manfaat jamu tradisional.


Kesimpulan : Saya suka menyebut tukang jamu gendong, sebagai pahlawan kesehatan yang tidak pernah dipuja atau diberi penghargaan dari pihak mana pun. Tapi perjuangan mereka selama ini,telah membantu menyehatkan banyak orang dari mulai si kaya sampai si miskin.

0 comments: